Perkembangan teknologi telah mengarahkan media bergeser dari yang konvensional ke arah digital tentunya dengan internet. Termasuk perkembangan media cetak, khususnya koran kini telah berpindah ke online newspaper. Seperti yang terjadi di Amerika diprtkirakan 20 tahun New York Times, Wallstreet Journal, Washington Post dan USA Today, koran lainnya akan mengarah ke bisnis koran oline, karena tentu biaya produksi jauh lebih murah dan subuah fenomana terjadi saat musim salju di Amerika, orang Amerika cenderung malah keluar rumah untuk mengambil korannya dan memilih untuk membaca koran online. Dan, tanpa kita sadari dengan berpindahnya koran ke sistem online setengah karyawannya harus dipecat karena tidak efektif memperlerjakan banyak orang untuk koran online.
Untuk di Indonesia sendiri sejak tahun 1998 melalui UUD 45 pasal 28 f dan UU pers sudah diterapkan citizen journalism. Hasilnya siapa saja boleh membuat koran, menjadi reporter atau wartawan dan dapat mem-post-ing tulisannya dimana saja dan kapan saja termasuk media online. Dampak positifnya berita yang tersiarkan up to date namun disamping itu wartawan gadungan makin banyak bermunculan dan keaktualan berita diraguakan. Dari sini lah berawal kebangkrutan koran-koran konvensional dan menjamurnya koran online. Namun hasil survei lain menunjukan bahwa di Indonesia untuk 10 tahun mendatang koran oline akan belum menjadi ancaman bagi bisnis koran konvensional,malah akan market yang potensial karena pengakses internet di Indonesia mencapai 25juta namun 83%-nya masih mengakses melalui warnet,80% hanya melihat situs jejaring sosial, 5 % detik.com.
Faktor yang menyebabkan koran konfensional gulung tikar adalah beritanya yang tidak diminati pasar, karena ketidak akuratan berita yang dimuatnya ataupun gaya penulisan yang salah. Sirkulasi produksinya yang tidak cukup besar sehingga pihak pengikalan kurang tertarik untuk memasang iklannya di koran tersebut. Selain itu karena modal kurang kuat, media cetak kebanyakan “menjual rugi” walaupun untungnya sedikit namun yang disasar adalah koran tersebut banyak dibaca di suatu daerah. Semakin banyak pembaca, semakin banyak iklan yang masuk. Seperti Kompas dalam satu tahun menghabiskan Rp.400M untuk biaya bahan baku produknya, Kompas dijual rugi dengan harga Rp.2000, jadi biaya bahn baku tersebut tidak ditutupi dari penjualan ke customer namun dari penjualan space iklan. Sehingga pricenya pun akan sangat sensitif,baik untuk pengiklan maupun reader.
Satu poin penting lagi yang menyebabkan kebangkrutan bisnis koran adalah kompetensi SDM-nya yang rendah. Pada jaman dulu kompetensi wartawan yang dibutuhkan adalah menguasai bahasa yg baik dan benar, bisa meliput dan nulis, mengerti kode etik journalistik dan tahu hukum. Namun, saat ini lebih berat karena ditambah lagi dengan menguasai internet, memiliki gaget yang terkorvensensi, antara telekomunikasi, camera, data dan internet, kemampuan untuk meliput dan menulis yang cepat dan benar, serta memegang tiga kekuatan wartawan menurut Pillitzer yaitu aktualisasi, aktualisasi, aktualisasi. Dan tidak hanya itu menurut pembicara stadium general Medkom IMTelkom 03/03, Bapak Ridlo Ramli, pimpinan redaksi Galamedia, untuk menjadi wartawan yang baik seperti berenang. Tidak hanya dapat dipelajari dengan teori, namun harus berenang langsung di kolam tersebut.
Media cetak koran untuk dapat bertahan di pasar dibutuhkan pula kekuatan pemasaran dan tentunya keuangan. Kekuatan pemasaran sangatlah berpengaruh karena oplah mempengaruhi iklan yang masuk. Untuk di daerah Jakarta minimum opalah yang harus terjual adalah 200.000 eksemplar sedangkan untuk bandung sendiri adalah 25.000 eksemplar. Sedangkan kekuatan keuanagan akan mempengaruhi kekuatan modal dan pembuatan cash flow yang sehat.
Kesimpulan
Media konvensional saat ini harus dapat menghadirkan berita yang aspeknya Glokalisasi, konsistensi terhadap kode etik jurnalistik, idealisme, not profit oriented, independent dan buat produk yang maksimal untuk pembaca serta dapat menjadi pilar ke empat demokrasi di Indonesia. Walaupun nantinya koran konvensional harus mati namun journalisme akan tetap hidup.
No comments:
Post a Comment